Cari thema tulisan dan judul artikel disini

Sabtu, 27 September 2025

KOTA PONTIANAK ; Dalam catatan Sayyid Husein Alkadri Jamalullail

 By :  Maktab NanGq1857 


 


 

MAKTAB NANGQ 1857

Dewan Pimpinan Pusat  

Kantor Pemeliharaan Dan Statistik Sejarah Ahlulbait 

Pangeran Bendahara Syarif Ja''far

 Bin Sultan Syarif Hamid I Alkadri Pontianak

 Jalan Seliung



SEBELUM ABDURRAHMAN MENJADI SULTAN 

 

Syarif Abdurrahman bin Sayyid Husein Alkadri lahir dan di besarkan di 2  Kerajaan / Sultan

 

1. Di besarkan di Kesultanan Matan Ketapang Sultan Muhammad Jainuddin 

2. Kerajaan Penembahan Mempawah  Opu Daeng Manambon Sayid Syech Abu bakar Aldeni Qaulan Jazirah 

 

Sayyid Husein bin Ahmad Alkadri masuk Matan pada tahun 1724   / 1142 H tepatnya Awal  Desember 1724 M ,/  atau Ahir Jumadil Stani 1142 H

 

Beliau masuk melalui pulau Sulawesi bersama sahabat empatnya yaitu :

 

1. Sayid Husein Alkadri tuan besar mempawah

 

2. Sayyid Abu Bakar Alidrus (tuan besar Aceh)

 

3. Sayyid Umar Assagaf  (tuan besar Siak)

 

4. Sayyid Muhammad Alquds (tuan besar Trengganu Malaysia)

 

Mereka sempat nyasar ke Gunung Peniraman ketika akan menuju ke Matan, Ahirnya setelah beberapa Sa'ad dan memperhatikan gunung Peniraman Ahirnya mereka berkata sebaiknya gunung ini di beri nama Bukit Sahabat Empat puncak gunung Sahabat empat saat itu istilah gunung Peniraman belum di kenal

 


 

Sayyid Husein bin Sayyid Ahmad Jamalullail
di usia muda


Setelah itu mereka menuju Istanah Penembahan Kerajaan Mempawah, pada saat itu Raja Opu Daeng Manambon menawarkan agar menetap di Mempawah, tetapi Sayid Husein Alkadrie menegaskan bahwa beliau siap untuk bekerja di mempawah, tetapi mereka harus terlebih dahulu kematan bersama rombongan sahabatnya

 

Setelah istirahat beberapa hari berdasarkan petunjuk pasukan Opu Daeng Manambon ke empat Sahabat berangkat ke Matan, setelah Sayid Husein Alkadrie di pastikan menetap di Matan ke empat Sahabat kembali lagi ke tempatnya masing-masing 

 

Diperkirakan di Matan Sayid Husein Alkadri menjadi Mufthi Matan dan menetap dari tahun 1724 M  - 1739 M, saat itu beliau sudah memiliki dua istri dengan anak sebanyak  9 orang, semuanya lahir di Matan, setelah merasa cukup dan hubungan dengan Sultan Matan agak renggang, beliau menerima tawaran Opu Daeng Manambon untuk menjadi Mufthi Mempawah  di mana tawaran tersebut yang ke tiga kalinya yaitu :

Bukit Peniraman Gunung Sahabat Empat Sungai Pinyuh Mempawah 

 

1. Ketika pertama kali bertamu ke Istanah Amantubilah pada saat nyasar di gunung Sahabat Empat Peniraman 

 

2. Ketika utusan datang membawah surat dari Raja Opu Daeng Manambon untuk menagih janji Sayid Husein Alkadri untuk menjadi Mufthi Mempawah, yang membuat Sultan Matan membuat ulah agar Sayid Husein Alkadri segera memenuhi permintaan Raja Opu Daeng Manambon 

 

3.Ketika Utusan dari Mempawah datang yang kedua kalinya, maka saat itu juga Sayyid Husein Alkadri langsung pamit kepada Sultan Muhammad Jainuddin, untuk memenuhi janjinya yang pernah di ucapkan

 

Masjid Agung Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri di bangun pertama kali pada Ahir tahun  1771 M / 1192 H, Peletakan batu pertama pada hari Kamis Siang 14 Rajab  1192 H / 1771 M, dengan melepaskan tembakan meriam sebanyak tiga kali yaitu 

 

1. Tembakan pertama jatuh di selat landak pertigaan antara sungai Kapuas dan landak ke aliran sungai kecil sungai beting, di sini kemudian di bangun Masjid dengan nama Masjid Syarif Abdurrahman Alkadri

 

Masjid ini pertama kali di bangun oleh Pangeran Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadrie dengan bantuan pembersihan oleh pasukanya yang sering ikut bersama Beliau dalam pelayan mereka adalah padukan yang berasal dari Etnis Dayak Matan yang membantu membersihkan lahan sekaligus ikut mencarikan bahan Kayu Ulin / Belian sebagai tiang pancang yang di pesan di Daerah Sanggau 

 

2. Tembakan kedua jatuh di sebarang sungai kecil sekitar 300 Meter yang kemudian di bangun Istanah Kadriah, juga di antara pertigaan sungai landak Kapuas dan aliran sungai beting dari arah Siantan berada di sebelah kiri 

 

Makam Kesultanan Kadriah Pontianak Jalan Katulistiwa Kelurahan Siantan Hulu Kecamatan Pontianak Timur Kota Pontianak Kalimantan Barat Indonesia 

 

,3. Tembakan ketiga jatuh sekitar 3 KM di batu Layang, kemudian di jadikan areal pemakaman Keluarga Alkadri saat itu, kemudian di rubah Makam Kesultanan Kadriah Pontianak Batu Layang 

 

Nama batu Layang karena di belahan Sungai Kapuas terdapat Batu yang meninggi seperti Batu Melayang dan di samping makam batu Layang juga terdapat tiga buah batu, batu pertama menyangga dua buah batu besar sehingga jika di lihat dari jauh batu tersebut seperti melayang 

Batu Layang Kelurahan Batu Layang Siantan Hulu Kecamatan Pontianak Timur Kota Pontianak Kalimantan Barat Indonesia, saat ini batu tersebut sudah di tumbuhi pepohonan dan semak sehingga sudah  hampir tidak kelihatan lagi batunya batu ini jika di lihat dari Makam Kesultanan berada di muara Pertemuan sehingga membelah dua sungai Kapuas berbentuk seperti Pulau batu yang melayang di atas air, selain itu di samping makam Kesultanan juga terdapat tiga buah batu yang juga mirip melayang, sekarang juga sudah di tumbuhi Demak belukar

 

Selai itu Batu Layang juga bermakna tempat perhentian  istirahat Mushafir keluarga Kadriah Pontianak  saat bertemu simpang tiga sungai Landak Kapuas dan aliran sungai beting dan juga sebagai tempat perhentian dan istirahat Sultan - Sultan dan kerabat Kesultanan dalam bentuk satu Komplek makam Batu Layang 

Istanah Amantubilah Penembahan Kerajaan Opu Daeng Manambon Mempawah 

 

Setelah hampir 15 tahun menjabat Sebagai Mufthi Kesultanan Matan, maka pada hari  Isnain 8 Muharam 1160 H / 1739 M, Rombongan bertolak dari Kesultanan Matan menuju Ke Kerajaan Penembahan Mempawah Opu Daeng Manambon dengan melewati jalur laut 

 

Setelah hampir 3 hari berlayar menempuh jalur laut tibalah Sayyid Husein Ibnu Ahmad Alkadri bersama rombongan dan anaknya dimuara Kuala Mempawah 

 

 

Kondisi muara Kuala Mempawah sekarang rencana akan di jadikan pelabuhan Internasional 2010 M,  karena alurnya dangkal sehingga di pindahkan ke Sungai Kunyit Kijing

 

Di muara Kuala Mempawah rombongan di sambut oleh rombongan Penembahan Kerajaan Mempawah dan Masyarakat Mempawah, mereka sangat antusias terutama rakyat Kerajaan Penembahan Mempawah karena dalam isi surat balasan Sayyid Hujan Alkadrii selain akan menjadi Mufthi beliau juga ingin berda'wah menyebarkan agama Islam dan membentuk majlis pengajian dan hadroh 

 

Setelah berada di Istanah Amantubilah Penembahan Kerajaan Mempawah beberapa hari kemudian beliau mulai membuka pemukiman untuk tempat tinggalnya di gala herang, sekarang menjadi areal Pemakaman Sayyid Husein Alkadri

 

Dulu 1769 M antara rumah Sayyid Husein Alkadri hanya berjarak 50 M dari makam beliau yang terbuat dari kayu Ulin / Kayu Belian terbaik yang di perkirakan berukuran 10 x 17 Meter dengan ruang tamu yang lurus hingga ke dapur dan terdapat 7 buah kamar tidur kecil berukuran 2 x 2 meter kemudian di bangun juga sampiran dapur yang luasnya 10 x 7 M untuk ruang dapur dan ruang keluarga 

 

Bentuk rumah seperti panggung sehingga bisa berjalan di bawah kolonganya

 

Rumah ini di buat tinggi karena saat itu bahkan hingga sekarang merupakan daerah yang rawan banjir

 

Di perkirakan tahun 1980 M, Rumah panggung ini di robohkan oleh anak ,- cicit Sultan Syarif Kasim Alkadri untuk perluasan areal makam kemudian di buat jadi 3 buah rumah penjaga dan merawat areal makam tersebut karena masyarakat umum juga di ijinkan berwakab di areal makam Sayid Husein Alkadri 

 

 

Posisi rumah tinggal Sayyid Husein Alkadri saat ini pas berdirinya Surau Sayyid Husein Alkadri yang di jadikan sebagai tempat ibadah Sholat jamaah yang berjiarah di makam Sayyid Husein Bin Ahmad Alkadri Jamalullail 

 

Pada saat pindah usia Syarif Abdurrahman sudah menginjak usia 9 tahun dan beliau sudah lancar membaca huruf - huruf Alqur'an dan sering juga datang ke Sebukit ramah berlatih ilmu olah kanuragan dengan Opu Daeng Manambon Sayid Syech Abu bakar Aldeni Qaulan Jazirah 

 

Demikian juga adiknya Syarif Abu bakar yang berusia 5 tahun juga sering ikut belajar ilmu olah kanuragan bersama Opu Daeng Manabon 

 

Karena kesungguhan mereka berlatih sehingga Opu Daeng Manambon Sayid Syech Abu bakar Aldeni Qaulan Jazirah mengkhususkan mereka untuk berlatih setiap selesai belajar Mengaji dan mengkaji Al - Qur'an 

 

Pada usia hampir 15 tahun Opu Daeng Manambon memberi adiknya sebuah sarung yang terbuat dari tembaga meruncing mirip cakar Harimau

 

Hal itu karena Opu Daeng Manambon sering melihat Syarif Abu bakar mengawasi ayam sambung jika sedang berlaga di atas bukit ramah dan tidak pernah melihat ayam sabung Opu Daeng Manambon kalah

 

Sehingga tertarik belajar ilmu cakar Ayam, karena itu Opu Daeng Manambon lalu memesan sarung cakar yang terbuat dari tembaga di Daerah Matan karena terdapat seorang pengrajin

 

Sarung tersebut kemudian di berikan ke abu bakar dengan cara memasangnya di lapisi terlebih dahulu dengan kain yang lembut sehingga tidak lecet

 

Setelah mahir maka Opu Daeng Manambon memberi gelar untuk pertama kalinya dengan sebutan  ""Panglima Wakar""

Sementara Syarif Abdurrahman Alkadri beliau beri gelar Pangeran Cakra Buana karena mahir dengan jurus Elang Buana dengan Cakar yang menusuk sehingga di sebut Cakra yang berma'na Cakar yang menusuk

 

Sedangkan Adiknya Syarif Abu Bakar Alkadri Panglima Wakar sebab jari - jarinya siap merobek 

 

Opu Daeng Manambon berpesan suatu saat ilmu - ilmu olah Kanu ragan yang di pelajari akan bermanfaat sekali di setiap Medan apa saja jika bertemu musuh atau orang yang ingin berbuat kerusakan

 

 

 

Sayyid Husein bin Sayyid Ahmad Jamalullail
Ketika di Matan sekitar tahun 1724 M 
Menjabat sebagai Mufti Kerajaan Matan Islam


Baik Syarif Abdurrahman Alkadri maupun Syarif Abu Bakar Alkadri setiap ada pertandingan Olah Kanu Ragan beliau sering ikut bertanding untuk mengukur keberhasilan mereka dalam belajar ilmu olah kanuragan kepada Opu Daeng Manambon Sayyid Syech Abu bakar Aldeni Qaulan Jazirah, keduanya tidak pernah putus asa jika terjadi kekalahan dalam bertanding, karena terlalu sering bertanding sehingga keduanya sangat mahir melihat titik kelemahan lawan, untuk selanjutnya mereka praktekan di bukit Rama di dalam pengawasan Opu Daeng Manambon,


 sehingga pertandingan - pertandingan berikutnya dapat di pastikan mereka akan menang karena tingkat pemahaman yang di ajarkan Opu Daeng Manambon Sayyid Abu Bakar Alkadri Jamalullail telah mereka pahami dengan baik, sehingga membuat Raja Mempawah ini sangat senang sekali atas keberhasilan kedua anak Sayid Husen Alkadri Mufthi Mempawah tersebut 

 

Selain itu Opu Daeng Manambon juga mengajarkan keduanya jurus mengunakan pedang, tombak termasuk Samurai sebab suatu saat akan berhadapan dengan senjata - senjata tersebut baik ketika mengikuti pertandingan maupun ketika berlaga di suatu pertempuran yang saling berhadapan satu sama lainya

 

beliau juga di ajarkan menggunakan cara memanah di seBukit Ramah 

Panahan atau memanah adalah teknis yang sering di lakukan oleh pasukan - pasukan terdahulu dalam pertempuran jarak jauh ini perlu di latih termasuk cara menghindar dengan mengunakan tameng yang terbuat dari kayu yang di lapisi besi atau baju besi 

 

Memanah adalah suatu teknik tertumpuk pada daya tahan tubuh agar memiliki pusat perhatian pada titik yang telah di tetapkan agar ketika busur di lepaskan tepat sasaran

 

Sebab memanah memerlukan kekuatan tenaga dan otot sehingga bisa menguras tenaga jika panah yang di gunakan terlalu besar dan busur yang panjang, akan tetapi cara ini sangat efektif untuk menjatuhkan lawan

 

Selain itu Opu juga mengajarkan cara berkuda dan teknis memanah dengan cara berkuda, beliau memiliki 7 ekor kuda yang di dapatkan dari Pulau Jawa tujuanya hanya untuk berlatih

 

Sebab pada saat itu kuda masih sangat langkah dan sulit di dapatkan, maka kebanyakan pasukan hanya lewat laut dengan perahu layar jika ingin berperang kemudian menyusul di daratan dengan berjalan kaki

 

Hanya Raja dan Panglima perang saja yang mengunakan kuda jika terjadi perang daratan

 

Sementara Sayyid Husein Alkadri tetap memantau perkembangan anak - anaknya dan fokus mendidiknya di bidang pendidikan Agama termasuk mengajar kedua anak Opu Daeng Manambon Gusti Jamiril Kecil dan Putri Utin Chandramidi secara khusus terpisah dengan masyakat atau Rakyat Kerajaan yang belajar ilmu agama dan mengaji, sehingga selain sebagai Mufthi Sayid Husein Alkadri juga di dibukan dengan mengajar ilmu agama, melatih Gambus, dan kesenian agama dengan mengunakan Rabana dalam bersholawat 

Selain itu Sayid Husein juga mengajarkan ilmu Syufisme Tasawuf dengan mengunakan Tarekat Qadriah yang di ajarkan kepada Rakyat Kerajaan Mempawah dan para pembesar Istanah secara khusus 

 

Sehingga ciri - ciri ke islaman yang lebih di tonjolkan sebab itu anak - anak Sayyid Husein Alkadri juga sangat mahir memainkan alat tersebut terutama dalam latihan dan acara Dzikir Najam sebagai pengerak semangat dalam belajar ilmu Tarekat dan lainya sering beliau padukan dengan bersholawat sebagai daya tarik agar Rakyat dan pembesar Istanah tertarik iku belajar ilmu agama 

 

 

Kondisi Masjid Jami' Kesultanan Kadriah Pontianak sekarang, dulu Masjid ini merupakan Masjid terbesar di Kesultanan Kadriah Pontianak dan satu - satunya Masjid bersejarah pertama di Pontianak 1771 M -  1192 H

 

Pada saat usia Syarif Abdurrahman Alkadrie memasuki usia 18 tahun, 


 Opu Daeng Manambon menyampaikan hajatnya kepada Sayid Husen Alkadri agar anaknya Putri Utin Chandramidi segera di jodohkan dengan Syarif Abdurrahman Alkadrii karena saat ini tidak ada yang bisa menikahi Putri Utin Chandramidi selain Syarif Abdurrahman Alkadri hal tersebut untuk menjaga agar Nasab anak perempuannya tidak terputus, Sabab pada saat itu Ahlulbait Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam benar - benar masih sangat langkah jika di sesuaikan dengan umur mereka berdua sangat sepadan dan Ideal

 

Syarif Abdurrahman Alkadrie berusia 18 tahun sedangkan 

Putri Utin Chandramidi berusia 17 tahun

 

Dari hasil pembicaraan tersebut Sayid Husein Alkadri meminta sebaiknya keduanya segera di jodohkan dengan memberi tahu keduanya

 

Maka di tetapkankanlah hari baik tepatnya hari Isnin  27 Rajab  1169 H - 1748 M,


 Tepat ba'da Isya keduanya di Panggil di ruang Pribadi Kerajaan di mana telah hadir Opu Daeng Manambon Sayyid Syech Abu Bakar Aldeni Qaulan Jazirah Raja Mempawah dan Anaknya Putri Utin Chandramidi serta Sayid Husein Alkadrie dan  Syarif Abdurrahman Alkadri, baik ibundah Putri Utin Chandramidi yaitu Maharatu Kesumbi maupun ibundah Syarif Abdurrahman Alkadri Nyai Tua sudah wafat sebelumnya

 

Dari hasil perbincangan tersebut kedua orang tua menjodohkan Putri Utin Chandramidi dengan calon Suami Syarif Abdurrahman Alkadri

 

Putri Utin. Menyanggupi perjodohan tersebut 

Dengan meminta mahar mas kawin tujuh peti emas

 

Mendengar persyaratan yang memberatkan tersebut 

Maka secara spontanitas Syarif Abdurrahman Alkadri menyampaikan Nazarnya di depan kedua orang tua dengan Putri Utin Chandramidi 

 

Jika seandainya Paduka, Ulun mampu memenuhi Syarat maskawin tersebut

 

Maka  :

 

""Paduka, Ulun Bernazar akan memiliki 101 orang anak dan tidak akan berhenti menikahi perempuan lainya sebelum Jumlah 101 anak tersebut terpenuhi"" 

 

Mendengar ucapan tersebut Putri Utin. Chandramidi memerah wajahnya dan memandang ayahnya Opu Daeng Manambon Sayyid Syech Abu Bakar Aldeni Qaulan Jazirah""

 

Opu Daeng Manambon Sayyid Syech Abu Bakar Adeni Qaulan Jazirah Raja Mempawah justru menjawab Amiiin

 

Sehingga Putri Utin Chandramidi tertunduk lesu lalu spontanitas berkata

 

Ulun Putri Raja Mempawah juga akan bernadjar, jika suatu saat nanti dirinya telah meninggal dunia maka jangan di makamkan di samping Syarif Abdurrahman Alkadri calon suaminya jika sudah menjadi suami dan jangan juga di makamkan di samping ayahnya Opu Daeng Manambon Sayyid Syech Abu Bakar Adeni Qaulan Jazirah dan tidak juga di makamkan dekat ibundahnya di Samping Istanah Amantubilah 

 

Tetapi makamkanlah di samping kiri makan Calon Ayah mertua Putri

 

Sayid Husein Alkadri sebab nantinya yang mengapit Sayid Husein Alkadri sama - sama bernama Utin Chandramidi yaitu istri Sayyid Husein Alkadri yang di kenal sebagai Nyai Tua dan Utin Cabanat, maka secara Spontanitas baik Opu Daeng Manambon Sayyid Syech Abu Bakar Adeni Qaulan Jazirah, Sayyid Husein Alkadrie dan Syarif Abdurrahman Alkadrie mengaminkan Nazar Putri Utin Chandramidi 

 

Untuk selanjutnya kedua orang tua tersebut hanya tersenyum melihat kelakuan kedua anaknya

 

Maka Sayyid Husein Alkadri  meminta waktu Tiga Bulan 

Untuk memenuhinya Syarat tersebut 




Sesuai janji Sayid Husein Alkadrie meminta waktu Tiga bulan, 


Setelah tiba waktunya beliau dengan Rombongan keluarga dan Masyarakat Galah Herang mengantarkan antaran di lengkapi dengan persyaratan lainya dengan baik perahu menuju Ke Sebukit Rama untuk mengantaran Maskawin  

 

1. Rstu Mempawah Putri Utin Chandramidi binti Opu Daeng Manambon Sayyid Syech Abu Bakar Adeni Qaulan Jazirah sekaligus perlengkapan pernikahan sesuai tradisi Adat Kerajaan  Opu daeng Manambon Sayyid Syech Abu Bakar Adeni Qaulan Jazirah 

 

Maka di laksanakan lah pesta selama 40 hari dengan mengundang para Raja dan Sultan yang ada di. Kalimantan Barat Borneo Barat dan Rakyat Kerajaan Mempawah 

 

Adapun rangkaian acara tersebut adalah :

 

1. Menyampaikan antaran maskawin sekaligus Akat nikah sesuai tradisi adat Kerajaan Mempawah yang di lakukan Kedua belah pihak laki laki dan perempuan, selesai akad nikah sungkuman kepada kedua orang tua dan sanak kerabat terdekat serta meminta Rido dan restu kepada kedua orang tua sanak saudara termasuk yang hadir

 

2. Hari pertama hingga sampai hari ke 14 belas undangan Kuhsus Para Raja, pembesar, Istanah panglima dan Pangeran dari berbagai urusan Kerajaan dan Kesultanan yang ada di Borneo Barat 

 

3. Hari ke 14 sd 30 undangan Untuk para pedagang saudagar dan Rakyat dari berbagai lapisan masyarakat di serta dengan hiburan rakyat juga di undang para Pasukan dari Kerajaan / Kesultanan yang lainya

 

4. Hari ke 30 - 40 masa - Mada pembersihan mandi bersih dan mandi ramuan bahwa penganti sudah Syah sebagai suami istri kemudian sungkeman terhadap masing kedua keluarga hingga genap sampai 40 hari di tutup dengan mandi Do'a selamat dan tolak balak menurut tradisi Kerajaan Opu Daeng Manambon Sayyid Syech Abu Bakar Adeni Qaulan Jazirah 

 

Setelah semua rangkaian sudah selesai selama 40 hari berikutnya sudut Galur dalam bentuk mengunjungi sanak saudara yang di lakukan hingga sampai 14 hari lamanya, untuk mengenal kedua saudara dari  pihak laki laki maupun pihak perempuan 

 

 

Masjid Jami Kesultanan Kadriah Pontianak bagian dalam untuk ruangan Sholat terletak di Kampung Beting Kelurahan Bugis Kecamatan Pontianak Timur Kota Pontianak Kalimantan Barat 

 

Setelah tiga bulan menikah dan di yakini istrinya Ratu Mempawah Utin Chandramidi HAMIL

 

((Dari pernikahan dengan Putri Mempawah Utin Chandramidi memperoleh 4 anak laki-laki dan 3 anak perempuan jumlah anak 7  orang salah satunya adalah Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie Sultan Ke II Istanah Kadriah Pontianak ))



 

Dokumen Asli Peninggalan Sultan Syarif Hamid I Alkadri yang di serahkan kepada  anaknya Pangeran Bendahara Tua Syarif Jafar bin Sultan Syarif Hamid I Alkadri yang tersimpan di Maktab NanGa 1857

 

 SEJARAH HIDUP DARI SANG PEMBUKA HUTAN

PENGUSIR BOTE BUMI KALIMANTAN

 SULTAN SYARIF ABDURRAHMAN ALKADRI

Bin Husein Bin Ahmad Bin Husein Bin Muhammad Alkadri 

 

Pendiri Kesultanan Pontianak, Pendiri Kota Pontianak, Sultan Pertama Istanah Kadriah Kesultanan Pontianak 1771 M  - 1808 M Dari didirikannya Istanah Kadriah Kesultanan Pontianak selama  37 tahun 

 

Dan di Nobatkan sebagai Sultan pada tahun 1778 M - 1808 M menjabat sebagai Sultan selama  30 tahun

 

Lahir : Matan, 7 Julhizah 1151 H  / 1730 M 

Wafat  : Pontianak, 3 Muharam 1229 H / 1808 M

Makam : Batu Layang 

Saat Wafat Usia ;  78 tahun

Ayah : Sayyid Husein bin Ahmad bin Husein bin Muhammad Alkadri 

Ibundah : Nyai Tua / Utin Cabanat/ Utin Chandramidi binti Sultan Muhammad Jainuddin Matan dari istri Nyai Kesumbi etnis Daya Matan

 

Istri Yang Di Sepuhkan : Maharatu Suri Mahkota Agung Kesumasari binti Raden Pangeran Wijoyo Ningart bin Sultan Hamengkubuwono I  (Raden Sujono) bin Sunan Amangkurat IV dari Istri Tejawati 

 

Jumlah istri keseluruhan : 67 Permaisuri tidak di anggap selir karena di nikahi secara sah dan dengan Mas Kawin yang sangat Pantastis minimal 1 peti emas hingga 7 peti emas setiap istri

 

Ini di buktikan  dari : 101 anak yang di lahirkan semuanya bergelar : 

 

Anak laki-laki  Bergelar  : Pangeran /  Panglima  

Anak perempuan bergelar : Ratu / Putri

 

Bahkan Saudara kandungnya juga di beri gelar : Panglima / Pangeran / Tuan dan  Ratu / Putri

 


 Setelah menikah dengan Utien Chandramidi, .....

Maka Syarif Abdurrahman Alkadrie memutuskan untuk berdagang awalnya membantu dagangan ayahnya Sayid Husein Alkadrie sebagai modal pertama, maka beliau langsung berangkat ke Yogyakarta dengan membawa dagangan dari Pontianak pada saat itu usianya baru mencapai hampir 19 tahun. Akan tetapi setelah sampai di Yogyakarta beliau bertemu seorang gadis bernama Raden Putri Kesumasari Binti Raden Temenggung Wijoyo Ningart bin Sultan Hamengkubowo I bin Sunan Amangkurat dan istrinya Tejawati, tertarik dengan anak Raden Ahirnya Syarif Abdurrahman Alkadrie dengan Rombongan langsung melamar 

 

2. Raden Putri Kesumasari binti Raden Temenggung Wijoyo Diningrat., Raden Putri langsung menerima lamaran tersebut, kelak menurunkan Sultan Syarif Usman, Sultan Pontianak ke III

 

Dengan tidak menentukan Mas kawin. akan tetapi Syarif Abdurrahman Alkadrie mengantarnya dengan tiga peti Emas maka Ayahnya Raden Temenggung Wijoyo Diningrat langsung menerima lamaran tersebut, aja tetap Syarif Abdurrahman Alkadrie sebelumnya sudah berterus terang tentang Nazdarnya dan ayah Raden Putri Kesumasari tidak berkeberatan serta menyerahkan urusan kepada anaknya, maka acar kebesaran di laksanakan di Kediaman temenggung selama 15 hari berturut - turut sesuai tradisi Adat Kedaton Kesepuhan Pendopo Raden Temenggung Wijoyo Diningrat 

 

Setelah selesai acara pernikahan Syarif Abdurrahman Alkadrie bertahan lebih dari 4 bulan setelah memastikan istrinya hamil baru beliau mohon pamit untuk pulang ke Mempawah sekaligus membawa barang dagangannya dan berjanji akan kembali lagi menjemput istrinya ke Mempawah jika berhasil membangun Istanah Kesultanan sendiri

 

((Dari pernikahan dengan Putri Kesumasari binti Raden Temenggung Wijoyo Diningrat memperoleh  1 anak laki - laki dan 3 anak perempuan jumlah 4 orang anak,. Anak laki-laki bernama Sultan Syarif Usman bin  Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie  Sultan Ke III Istanah Kadriah Pontianak ))

 

Dari Yogyakarta Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadrie (gelar pemberian dari Opu Daeng Manambon Sayyid Syech Abu Bakar Adeni Qaulan Jazirah) langsung menuju ke Jakarta, dan berlabuh  untuk membongkar barang dagangan yang ingin di beli oleh Konsumen di Jakarta beliau berlabuh pelabuhan Rakyat dan tidak di Batavia akan tetapi tidak berjauhan dari pelabuhan tersebut 

 

Kemudian beliau tinggal beberapa hari di Jakarta, akan tetapi niat ingin pulang ke Mempawah beliau tunda terlebih dahulu karena bertemu dengan seorang gadis bernama  

 

3. Musih binti Husein Assagaf kemudian Syarif Abdurrahman Pangeran Cakra Buana bertemu langsung dengan ayah kandung Musih binti Husein Assagaf dan mengutarakan ke inginanya melamar

 

Seraya menceritakan nadzar tersebut ke Husein Assagaf, setelah Husein Assagaf bertanya kepada anaknya Musih Assagaf, Musih Assagaf menerima lamaran tersebut kemudian saat itu juga dengan Pasukanya mengantarkan "Mas Kawin Satu Peti Emas' dengan cara pesta perkawinan sesuai adat tradisi Ahlulbait dengan menampilkan gambus, Rebana dan Marawis dengan memperbanyak Sholawatan selesai acara Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadrie tidak langsung berangkat melainkan menetap hingga tiga bulan, setelah memastikan ke haimlan istrinya barulah beliau pulang ke Mempawah, 

 

((Dari pernikahannya dengan  Nyai Musih binti Husein Assagaf memperoleh  4 anak laki-laki dan 1 anak perempuan))

 

Setelah berlayar memutar menuju tanjung pinang sekitar dua hari beliau membongkar barang dagangan yang akan di beli Konsumen Tanjung pinang, kemudian berlabuh beberapa hari, akan tetapi di tanjung pinang beliau bertemu dengan seorang gadis dan menceritakan nadzarnya, karena kedua orang tidak setuju maka Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadrie memutuskan berlayar menuju Serasan 


Kemudian terus ke Malaysia  menuju Sematan  kemudian berlabuh dan membongkar barang Dagangan yang di bawah dari Yogyakarta, Jakarta, Tanjung Pinang di Samatan barang tersebut di beli konsumen dan beliau mengisi barang - barang dari Samatan Malaysia, di Samatan Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadrie sengaja berlabuh agak lama karena tujuan untuk mencari gadis yang mau di nikahi, 


Ahirnya bertemu dengan seorang gadis Malaysia bernama 

 

Putri Aminah binti Muhammad Alwi Albanasan yang berasal dari kinibalu tetapi menetap di Samatan Malasia, karena bertemu dengan gadis tersebut secara jujur Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadrie mengemukakan nadzar yang pernah di ucapkan ternyata gadis Malaysia ini mau menerima Lamaran tersebut dan orang tuanya Muhammad Alwi Banasan menerima lamaran tersebut

 

Sehingga 

 

4. Putri Aminah binti Muhammad Alwi  Albanasan menjadi istri yang ke 4 

 

((Dari Pernikahan dengan Putri Aminah binti Muhammad  Albanasan memperoleh 2 orang anak laki-laki  yang keduanya bergelar Pangeran Cakra dan Cakra Muda))

 

Setelah hampir 4 bulan menetap Pangeran Cakra Buana Sysrif Abdurrahman Alkadri kemudian baru berlayar ke Arah Sambas, setiba di Sambas Syarif Abdurrahman Alkadri menetap kembali dan menemukan seorang gadis Sambas, setelah mengemukakan Nadzarnya gadis tersebut menerima maka Rombongan Segera melamarkan hanat Sysrif Abdurrahman Alkadri, Gadis tersebut bernama 

 

5. Putri Salmah binti Hamid Barakat salah satu keluarga Kesultanan Sambas dengan Mahar Satu Peti Emas, dari pernikahan memperoleh 4 orang anak laki - laki, di Sambas Syarif Abdurrahman Alkadri banyak menjual barang dagangannya dan mengisinya dengan barang langkah yang akan di jual di tempat lain

 

Dari Sambas beliau baru menuju Mempawah ke rumah kediaman ayahnya Sayid Husein Alkadri di Galah Herang  kemudian baru ke Istanah Sebukit Rama

 

Yang ternyata istrinya Putri Mempawah melahirkan seorang anak perempuan yang sudah berusia satu tahun lebih bernama Ratu Aisyah Alkadri Putri pertama dari pernikahannya dengan Ratu Mempawah Utin Candramidi binti Opu Daeng Manambon Sayid Syech Abu bakar Adeni Qaulan Jazirah

 

Di Mempawah Pangeran Cakra buana Systif Abdurahman kemudian menikahi lagi 

 

6. Nyai Musih binti Abdullah Tatang Etnis Dayak Sambe Mualaf dari pernikahan ini Pangeran Cakra Buana memiliki 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, salah satu anak laki - lakinya adalah Pangeran Angke Syarif Hamid Alkadri Muara Angke Jakarta yang saat ini di kenal Sysrif Hamid Keramat  Muara Angke

 

 

Istanah Kadriah Istanah Kadriah yang sekarang kelihatan Megah merupakan hasil Renovasi Sultan Syarif Usman Aljadri yang menjabat dari tahun 1819 M - 1855 M, Istanah ini Beliau renovasi pada tahun 1821 M dan baru selesai 1822 M dengan ornamen yang lebih Indah seluruhnya terbuat dari Kayu Ulin Tua (Belian Tua) sehingga sekarang tahun 2025 M, tetap berdiri Kokoh dan hanya rehab kecil menganti kayu yang keropos serta pengecatan ulang saja sehingga tetap kelihatan Indah dan megah oleh Sultan - Sultan penerusnya

 

Selanjutnya Pangeran Cakra Buana Systif Abdurahman Alkadri menikah lagi dengan 

 

7. Ratu Nyai Parabu Khodijah binti Husein Jamalullail (Istri Husein jamalullail adalah Ratna etnis asli Dayak Majang dari Pedalaman hulu Sambe, setelah masuk Islam di Panggil Inche Ratnah , dengan mahar antaran juga satu Peti Emas dari pernikahan ini memiliki satu orang anak laki-laki bernama Panglima Mangku Terbang Syarif Abdullah bin Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadri

 

Setelah menetap hampir 9 bulan di  Mempawah kemudian bolak balik Sambas, Sompak, Sambe Darit, Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadri memutuskan untuk berlayar  ke Banjarmasin untuk membawa barang Daganganya

Istanah Kadriah Pontianak tampak dari depan di bangun pada tahun 1771 M, kemudian di sempurnakan oleh Sultan Syarif Usman dengan menambah Sayap kiri dan sayap kanan sebagai selasar dan teras depan kemudian penjahat bagian belakang dengan teknis mengikuti atas dasarnya sehingga tidak seperti sambungan baru, awalnya Istanah ini mau di pindah akan tetapi tidak jadi karena Sultan Syarif Usman Alkadri bermimpi agar posisi Istanah tetap dan tidak boleh di geser sedikitpun, akan tetapi sebagian Sejarah mengatakan di pindah,


 Sejarah tersebut adalah bohong dan mereka membuat rekayasa seolah - olah posisi Istanah di Pinggiran Sungai Kapus, hal ini bahwa Istanah tidak pernah di pindah dapat di lihat letak "" Montour"" nya  berdasarkan jatuhnya tebakan meriam bear adalah sekitar 300 meter dari pinggiran Sungai Kapuas, 300 M dari aliran Sungai Bentong yang membelah Masjid Kesultanan dengan Istanah, untuk keasnid Istanah harus melewati Jembatan Sungsi beting yang lebanya sekitsr 7 M, yang sudah ada jembatan yang sejak Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri

 

Setelah seminggu lebih berlayar tibalah mereka ke Sungai Banjar yang saat ini menjadi Pelabuhan Kelas II atau Pelabuhan Rakyat sekarang

 

Pelabuhan Rakyat Pelabuhan Kelas II Kota Banjarmasin sebagai tempat berlabuhnya Kapal Layar Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadri., Di pelabuhan ini Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadri menambat atau melabuhkan 17 Kapal Layarnya yang di berangkat dari Pontianak

 

Pada saat  itu Sultan yang berkuasa adalah Sultan Sa'ad Tanah Tahmidullah yang berkuasa dari tahun 1761 M - 1801 M, Sultan  memiliki anak bernama Ratu Banjar Ratu Syahranum 

 

Mengetahui dari informasi pasukan Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadri memiliki Nadzar maka Sultan Sa'ad meminta agar Syarif Abdurrahman Alkadri mau bersilaturahmi di Istanah Beliau, Syarif Abdurrahman Alkadri bersedia Silaturahmi setelah meminta ijin untuk istirahat barang sehari karena sedikit lelah setelah berlsya labih dari satu minggu dan mengawasi pembongkaran barang Daganganya yang akan di pasar kangen di Wilayah Banjarmasin dan sekitarnya

 

Keesokan harinya belisu di dampingi beberapa pasukanya menghadiri undangan Sultan Sa'ad Tanjih Tahmidullah yang menjadi Sultan Sa'ad itu

 

Dalam Silaturahmi Sultan mengutarakan bahwa bisu memoliki beberapa anak perempuan salah satunya yang tertua adalah Ratu Syahranum binti Sultan Sa'ad Tanjih Tahmidullah, apakah Syarif Abdurrahman Alkadri mau menikahi anaknya yang Sa'ad itu sudah mencapai usia dewasa 

 

Sysrif Abdurrahman Alkadri lalu mengutarakan bahwa beliau memang punya nadzar akan memiliki anak 101 orang dan tidak akan berhenti menikah jika jumlah tersebut belum terpenuhi

 

Atas pernyataan yang terus terang Sultan metada senang kemudian Sultan juga banyak mengucapkan terima kasih atas kehadirannya di Banjar yang banyak membawa barang Daganganya yang sast itu sangat di perlukan Rakyat Bsnjar

 

Maka sebagai ucapan terimakasih kasih tersebut, 


Kemudian Sultan Banjar menobatkan Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadri menjadi "" PANGERAN EMAS NUR ALAM"  gelar tersebut berhak belisu pakai karena telah berlaysr di beberapa Pulau dengan gagah berani membuat beberapa Samudra kelak gelar tersebut akan terbukti bahwa Pangeran Emas Nur Alam akan menjelajahi Samudra dalam petualangan berdagang dan berkeliling mencari jodoh untuk memenuhi Nadzar yang pernah di ucapkanya di depan calon istrinya  Ratu Mempawah Utin Candrawathi, ayahnya Sayid Husein Alkadri dan di depan calon mertuanya Opu daeng Manambon Sayid Syech Abu bakar Adeni Qaulan Jazirah

 

 

Istanah Kadriah Kesultanan Pontianak tampak dari samping kelihatan tangga lantai Dua di depan Sekadar / teras depan Istanah Kadriah Kesultanan Pontianak, tangga ini fi bangun oleh Sultan Syarif Usman Alkadri 1825 M - 1826 M

 

Kemudian Pangeran Emas Nur Alam meminang

 

8. Ratu Banjar Ratu Syahranum binti Sultan Sa'ad Tanjih Tahmidullah dengan Mahar Mas Kawin Tiga Peti Emas di sertai barang antaranya

 

Setelah menikah dengan Ratu Banjar Ratu Syahranum binti Sultan Sa'ad Tanjih Tahmidullah maka Pangeran Cakra Buana Syarif Abdurrahman Alkadri berubah menjadi Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri dan Sultan Banjar memberikan hadiah berupa Mahkota Emas sebagai gelar "" Pangeran Nur Alam "" 


Mahkota inilah yang di tinggalkan oleh Pangeran Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri ketika menelusuri Sungai Segedong dan membuat sebuah bangunan Pendopo yang kemudian beliau memberikan Mahkota Emasnya kepada penjaga Pendopo dari Etnis Bugis untuk selanjutnya tempat tersebut di kenal sebagai "" GEDUNG INTAN SEGEDONG ""

 

Dari hasil pernikahan dengan Ratu Banjar Ratu Syahranum binti Sultan Sa'ad Tanjih Tahmidullah Pangeran Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri memiliki tiga orang anak 2 orang laki-laki dan satu perempuan sebagai anak tertua

 

 

Istanah Kadriah Kesultanan Pontianak tampak dari samping, merupakan hasil Rehabilitasi Sultan Syarif Usman Aljadri 1825 M - 1826 M ketika beliau menjabat sebagai Sultan Pontianak yang ke Tiga mengantikan abang kandungnya Sultan Syarif Kasim  bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri

 

Salah datu anak tersebut yang sangat di kenal adalah Pangeran Kachil Syarif Alwi bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri,  Pangeran Kachil terkenal karena memiliki poster tubuh yang tinggi gemulai sehingga ketika berumur 15 tahun tidak bisa berjalan karena tubuh yang terlalu lembek hingga harus di papan oleh dua orang jika akan ke kamar besar maupun Kecil

 

Pangeran Mas Nur Alam  menikah dengan Ratu Banjar Ratu Syahranum binti Sultan Sa'ad Tanjih Tahmidullah beliau juga menikahi beberapa Gadis perempuan di Kalimantan selatan di antara istri istri tersebut adalah :

 

9. Ratu Aisyah binti  Abdurrahman Arsyad Al-Banjari, dengan mahar Mas kawin satu peti Emas., makam Tua Handil Babrik Kalimantan Selatan sekarang masuk dalam Kabupaten Tanah Laut, hanya saja dari hasil pernikahaya tidak memiliki  keturunan sehingga Pangeran Emas Nur Alam memutuskan untuk menikah lagi dengan 

 

10. Ratu Simah bin Moh Saad Arsyad Al-Banjari., dengan mahar Mas kawin satu peti Emas., Makam Tua Klaten B Banjarmasin, akan tetapi juga tidak memiliki keturunan karena tidak bisa melahirkan, maka Pangeran Emas Nur Alam memutuskan menikah lagi dengan

 

11. Ratu Sa'idah  binti Muhammad  Arsyad., dengan Mahar Mas Kawin Satu Peti Emas., (nama orang tua kebetulan sama lain orang)  Makam  Tua di Klayen A Banjarmasin, dari pernikahan ini juga tidak memiliki keturunan, terapi Pangeran Mas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri tetap tidak putus asa kemudian beliau  memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang gadis bernama 

 

12.  Ratu  Khodijah binti Usman Al-Banjari, dengan Mahar Mas Kawin Satu Peti Emas., Makam Tua Handil Babirik Provinsi kalimantan selatan, juga tidak melahirkan anak sehingga tidak memiliki keturunan

 

13. Ratu Salmah binti  Abu bakar Jamalullail., dengan Mahar Mas Kawin satu Peti Emas., makam  Tua  Marabahan Barito kuala  Kalimantan selatan, dari pernikahan ini Pangeran Mas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri memiliki  2 orang anak laki-laki., Kedua anak laki-laki tersebut lahir di Kandangan dan keduanya juga wafat di Kandangan dan di Makamkan di Pemakaman Tua  Julak Kalsium di Kandangan, untuk selanjutnya Pangeran  Mas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri juga menikahi

4. Ratu Parabu Hafijah binti Abu bakar Al-idrus dengan Mahar Mas Kawin Satu Peti Emas., Kandangan, Makam Kompleks Pemakaman Julak Kalsium Kandangan Hulu sungai Selatan., Dari pernikahan tersebut beliau memiliki dua orang anak laki-laki yang juga di Makamkan di Pemakaman tua Julak Kalsium Kandangan Hulu Sungai Selatan., Selanjutnya Pangeran Mas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri juga menikahi

 

15. Ratu Putri Lina binti Muhammad Arsyad di Klayen A Banjarmasin, dengan Mahar Mas Kawin Satu Peti Emas., Makam Pemakaman Tua Klayen A Banjarmasin, Dari pernikahan tersebut memiliki satu orang anak laki-laki yang makamnya juga terdapat di Pemakaman Tua Klayen A Banjarmasin Kalimantan Selatan. , Selain itu Pangeran Mas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri juga menikahi

 

16. Ratu Salmah II binti Abdullah Al-idrus, makam Bati - bati Martapura Kabupaten Banjar Provinsi kalimantan Selatan., dengan Mas Kawin satu Peti Emas Dari pernikahan ini memperoleh seorang anak laki-laki yang juga Wafatnya di Bati - bati Martapura Kabupaten Banjar Provinsi kalimantan selatan,  kemudian beliau menikah lagi dengan

 

17. Ratu Khodijah binti Abdurrahman Wahid Al-Banjari, Makam Kompleks Pemakaman Sultan Sa'ad Tanjih Tahmidullah. , Dari pernikahan tersebut Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri juga tidak memiliki anak., Merasa istrnya juga tidak bisa melahirkan kemudian Pangeran Mas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri menikah lagi dengan

 

18. Ratu Munawarrah binti Syaiful Shodiq  Al-idrus dengan Mahar Mas Kawin satu peti Emas, makam komplek pemakaman tua Batu Licin Kalimantan selatan "Borneo Selatan"  akan tetapi dari pernikahan ini istrinya juga tidak dapat melahirkan anak., karena merasakan istrinya tidak bisa memberikan keturunan lagi, maka Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri menikah lagi dengan

 

19. Ratu Dayang Kesumbi  binti Alwi Ahmad Alidrus dengan Mahar Mas kawin satu Peti Emas, makam di Kompleks pemakaman Pangeran Kachil Syarif Alwi bin Sultan Sysrif Abdurrahman Alkadri bagian atas, akan tetapi dari pernikahan tersebut istrinya juga tidak bisa melahirkan anak., 

 

Merasa dari pernikahan tersebut istrinya tidak bisa memberikan keturunan, maka Pangeran Mas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri memutuskan untuk membawa barang Dagangan yang yang di beli dari wilayah Kalimantan selatan sudah hampir dua tahun berlabuh ahirnya beliau memutuskan untuk berangkat ke Kalimantan Tengah, maka ke Tujuh Belas Kapal berlayar ke Kalimantan Tengah dengan menempuh waktu berlayar lebih dari empat hari karena mengalami cuaca buruk di lautan. , untuk memenuhi permintaan barang dari Kesultanan Kalteng yang berada Kota Waringin setelah membongkar barang daganganya di Pelabuhan Kota Waringin Barat

 

 

 

Yang di bawah dari beberapa daerah Borneo Selatan /  termasuk Kalimantan selatan  dan memuat kembali barang  yang di beli di Kalimantan Tengah / Borneo Tengah., maka  dari ke 17  Kapal tersebut ada yang berangkat masuk di sungai - sungai kecil untuk mengantarkan barang pesanan tersebut, kesempatan tersebut  di manfaat oleh Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri untuk mencari jodoh untuk memenuhi nadzarnya yang belum tercapai

 

"" Pernah Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri bertanya kepada Sultan Sa'ad Tanjih Tahmidullah mengapa beliau memberi gelar Pangeran  Emas Nur Alam

 

Pada saat itu Sultan Sa'ad hanya tersenyum kemudian menjawab "" Sesungguhnya Perjuangan Anak Emas Akan Menjelajahi Hampir Semua Samudra baru Nadzar anak Emas bisa terpenuhi "" Itulah salah satu 

 

Makna dari Pangeran Emas Nur Alam  

 

Yang di berikan Sultan Banjar sa'at itu

 

Apa yang di ucapan kan Sultan Sa'ad  Tanjih Tahmidullah memang terbukti karena setelah resmi menjadi Sultan justru Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri harus berlayar ke Belanda melewati  Samudra India, Samudra Atlantik Selatan dan Samudra Atlantik Utara sekalipun Pelayan tersebut mengambil alur pinggir akan tetapi  ketiga Samudra tersebut harus di lewati""

 

 

Ruang Pertemuan Selasar Tengah  berukuran Lebar 7 M x 17 M 

di Istanah Kadriah Kesultanan Pontianak

 

Setelah mengitari Wilayah Kalimantan Tengah hampir dua minggu untuk membongkar dan memuat barang dagangan ahirnya Pangeran Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri memutuskan untuk menyeberang ke pulau Jawa tepatnya ke Jawa Barat bersama 17 perahu layar untuk melamar Ratu Prabu Khodijah binti Temenggung Banten Syarif Abdullah Alkadri atas saran adiknya Panglima Laksamana I Syarif Abu Bakar Alkadri yang merupakan cucu  Sepupu, agar di nikahi secara Sekufu satu garis sebagaimana yang terjadi dengan Sayidina Ali dengan Sayidah Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

 

Maka  ke 17 kapal layar yang sudah penuh dengan barang dagangan berlsysr menuju Jawa Barat

 

 

 

Pelabuhan kelas Dua Jawa Barat, sekarang sudah menjadi Pelabuhan bongkar muat barang dan tronton Pelabuhan Patimun yang sering di singgahi kapal layar Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri yang di namanya sebagai Pelabuhan Rakyat yang padat untuk bongkar muat barang , saat itu hanya di sebut Pelabuhan Rakyat Patimun, Sekarang menjadi Pelabuhan Patimun Kelas II dari Tujuh Pelabuhan besar di Jawa Barat

 

Setelah tiba di Jawa Barat tepatnya di Tanggerang Banten beliau di sambut oleh Pangeran Temenggung Banten Syarif Abdullah bin Panglima Laksamana I Syarif Abu bakar Alkadri setelah membongkar 27 muatan kapal barang kemudia di isi kembali untuk di jual di daerah lanya

 

Kemudian Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri di temukan dengan anak Pangeran Temenggung Banten Syarif Abdullah bin Panglima Laksamana I Syarif Abu bakar Alkadri

 

Atas permintaan kakeknya Panglima Laksamana I Syarif Abu bakar Alkadri

 

20. Ratu Perbu Khodijah binti  Tumenggung Pangeran Banten Syarif Abdullah Alkadri, maka Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri memberikan 3 Mahar Peti Emas, akan tetapi di tolak Ratu Perbu Khodijah binti Tumenggung Pangeran Banten Syarif Abdullah Alkadri dan hanya menerima Satu Peti Emas saja dengan syarat bahwa Ratu Perbu Khodijah binti Tumenggung Pangeran Banten Syarif Abdullah Alkadri di terima untuk menemani pelayaran Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri di mana saja berlayar, atas permintaan tersebut di setuju oleh Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri

 

Dari pernikahan dengan Ratu Perbu Khodijah binti Tumenggung Pangeran Banten Syarif Abdullah bin Panglima Laksamana I Syarif Abu bakar Alkadri memperoleh  5 anak laki-laki dan 2 anak perempuan., dan dari ketujuh anak tersebut ada tiga anak yang di lahirkan di dalam perahu layar di bantu dua orang sayang dapur Kapal layar, salah satu anak tersebut adalah Pangeran Tinggi Al - Akbar Adijaya Kesuma Syarif Alwi Al - Akbar bin Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri., yang setelah ayahnya menjadi Sultan belisu di angkat menjadi pengurus Distrik Perdagangan Wilayah Banten kemudian selanjutnya di minta untuk mengasuh Pangeran Kachil Syarif Alwi bin Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri karena mengalami kelainan fisik (Lumpuh semenjak lahir) 

 

 

 

Makam Batu Layang Kesultanan Kadriah Pontianak, peletakan batu pertama dengan tembakan meriam ke Tiga dari simpang tiga Sungai Kapuas, Landak dan Sungai Beting, tembakan ketiga peluru Meriam jatuh di dekat Batu Layang, sehingga di bangun sebagai cikal bakal makam keluarga Kesultanan Kadriah Pontianak

 

Setelah tiga bulan menetap di Banten Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri meneruskan pelayaran ke Pulau Sumatra, Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri langsung berlayar menuju Sumatra setelah  tiga hari berlaysr beliau tiba di Pelabuhan Tanggamus (Sekarang menjadi Pelabuhan Kota Agung) di sini beliau hanya mbongksr sebanyak 10 Kapal barang yang akan di pasarkan di Kota Agung

 

Kemudian mengirim kembali barang Daganganya yang di beli di Kota Agung untuk di jual di tempat lainya

 

Di Kota Agung  Lampung Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri bertemu seorang Gadis yang siap dinikahi setelah di jelaskan tentang Nadzarnya yang pernah di ucapkan, gadis tersebut setuju kemudian menemui ayahnya 

 

Dari hasil percakapan ayahnya maka di putuskanlah pernikahan 

 

21. Ratu Aisyah binti Abdurrahman Jamalullail Kota Agung Lampung dengan Mahar Mas kawin Satu peti Emas

 

Dari pernikahan dengan Ratu Aisyah binti Abdurrahman Jamalullail memiiki dua orang anak laki-laki kembar  Dua  keduanya di beri nama yang sama yaitu : 

21.1. Pangeran Mas Mangku Syarif Hidayatullah I bin Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri dan 

21.2. Raden Mas Syarif Hidayatullah II bin  Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri

 

Kemudian setelah tiga bulan Pangeran Emas Nur Alam Syarif Abdurrahman Alkadri meneruskan pelayarannya menuju Aceh  pelayaran menempuh waktu lebih sstu hari 27 kalal tiba di Pelabuhan Rakyat Ule - Ulee Kota Banda Aceh, tujuan utama membawa barang Dagangan di Pelabuhan ini ke 17 kapal membawa barang di bongkar semua karena banyak peminatnya

 

Kemudian di isi barang dagangan dari Aceh dan satu kapal saja yang di kosongkan 

 

Dari Aceh satu kapal ini menelusuri Sungai Aceh menuju Pidie Aceh untuk bertemu seorang ulama di Pidie 

 

 

Panglima Laksamana I 
Sayyid Abubakar bin Sayyid Husein 
Adik Sayyid Syarif Abdurrahman 
Pengawal setia didarat dan dilautan
Sejak 1755 - Hingga 5 Juli  1779 M
24 tahun bahu membahu 
sampai mereka berpisah jalan, hilang dari catatan dan kenangan 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar